Tag: Thomdean

Calon Koki Pohul-pohul

Judul: Calon Koki Pohul-pohul
Cerita: C. Krismariana W.
Ilustrasi: Thomdean
Lay out: Yossy S. Putra
Penerbit: Sahabat Gloria bekerja sama dengan Yayasan Tifa
Ukuran: 17 x 25 cm
Tebal: 12 halaman

Ini komik kedua yang kukerjakan dengan Thomdean. Aku yang menulis ceritanya, Thomdean yang menggambar.

Di sini tema besar yang diangkat masih soal multikultur. Aku menggabungkan antara kesetaraan jender dengan makanan tradisional.

Kisahnya, Ami menginap di rumah Tante Retno. Di sana ia mulai berkenalan dengan Om Bonar, seorang dari suku Batak. Ami segera mendapat teman baru, Gita dan Arya, yang merupakan tetangga Tante Retno. Mereka pun bersama-sama memasak kue Lapet, kue tradisional yang sudah biasa dikenal di kalangan orang-orang Batak. Awalnya Arya tak mau diajak memasak karena ia menganggap memasak adalah pekerjaan anak perempuan. Tetapi setelah melihat Om Bonar pun memasak, ia akhirnya ikut memasak.

Di sini diharapkan anak-anak bisa belajar tentang suku lain, yaitu tentang kue tradisional dan sekilas karakteristik seorang lelaki dari suku Batak. Selain itu, dengan cerita Arya yang pada akhirnya mau memasak, anak-anak bisa belajar tentang kesetaraan jender.

Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan orang Batak, aku bertanya langsung kepada beberapa kawanku yang merupakan orang Batak.

Komik ini diterbitkan dalam rangka program pendidikan multikulturalisme dengan pengembangan karakter. Diterbitkan oleh Sahabat Gloria bekerja sama dengan Yayasan Tifa.

Belajar Multikulturalisme Lewat Komik

Judul: “Kita Bisa Bersahabat, Rin!”
Naskah: C. Krismariana W.
Ilustrasi: Thomdean
Lay Out: Yossy Sihol Putra
Diterbitkan pada bulan Mei, 2007
Komik ini diterbitkan dalam rangka Pendidikan Multikulturalisme dengan Pengembangan Karakter; kerja sama antara Persekutuan Sahabat Gloria dan Public Affair Section Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Awalnya aku menulis naskah ini adalah karena permintaan seorang teman yang memiliki kepedulian pada pendidikan anak-anak. Kali ini yang menjadi fokusnya adalah pendidikan multikulturisme.

Multikulturalisme merupakan fakta bahwa kita hidup di tengah masyarakat dengan berbagai kultur. Kultur atau budaya di sini bukan melulu soal kesenian, tetapi lebih pada cara hidup sekelompok orang, di dalamnya termasuk agama, teknologi (yang mereka pakai), adat istiadat, cara pandang, dan lain-lain.  Jika melihat sekeliling kita, kita akan dengan mudah melihat hal semacam itu. Tengoklah tetangga kita, siapakah mereka? Dari suku apa mereka? Kebiasaan apa yang mereka miliki? Bagaimana cara pandang mereka? Mungkin mereka tak jauh berbeda dengan kita dalam hal-hal tersebut, tetapi bisa jadi, mereka sangat berbeda dengan kita, bukan?

Perbedaan-perbedaan itu bisa menimbulkan gesekan di dalam masyarakat. Kemungkinan terjadinya konflik sangat tinggi.

Lalu bagaimana kita bisa mengelola perbedaan tersebut? Idealnya, kita belajar menangani perbedaan kultur itu sejak dini–sejak anak-anak. Nah, karena itulah komik ini dibuat. Saat ini masih jarang sekolah yang mengajari anak-anak mengelola perbedaan dan konflik yang berkenaan dengan multikulturalisme. Kalau menurutku sih, kita terkadang tidak terbuka dan menerima adanya perbedaan itu.

Ide pokok dalam komik ini adalah menerima perbedaan agama dan suku. Tentu saja, tokohnya adalah anak-anak. Di sini, perbedaan agama yang kuangkat adalah Islam, Kristen, dan sedikit memasukkan Konghucu. Adapun suku yang kuceritakan adalah suku Jawa dan Cina. Aku sengaja mengangkat hal-hal itu karena aku melihat seringnya konflik timbul antara Islam dan Kristen, serta antara suku Jawa dan Cina (sebenarnya lebih tepatnya pribumi dan non-pribumi).

Ketika menuliskannya, aku teringat pernah mendengar olok-olok yang berkenaan dengan perbedaan agama dan suku. Bahkan sampai sekarang, tak jarang aku masih melihat dan merasakan adanya kecurigaan yang beredar di masyarakat mengenai hal tersebut. Orang agama X curiga dengan agama Y. Orang suku X tidak suka dengan orang suku Y. Lalu mereka pun bertikai ….

Komik ini tidak diperjualbelikan, tetapi disebarkan secara cuma-cuma kepada anak-anak binaan yang dikelola oleh Persekutuan Sahabat Gloria. Sebenarnya aku berharap komik yang mengangkat tentang perbedaan seperti ini dapat diperjualbelikan di toko buku. Bagaimanapun Indonesia memiliki kultur yang berbeda dengan negara lain, dan anak-anak Indonesia bisa belajar menerima perbedaan semacam ini sejak dini.