Tag: mengasah keterampilan penerjemah

Antara Menerjemahkan, Membaca, dan Menulis

Suatu kali aku pernah mendapat pekerjaan berupa mengedit sebuah karya terjemahan. Karena hendak mengejar momen tertentu, buku itu diterjemahkan oleh beberapa penerjemah. Di situlah seorang penyunting berperan, yaitu menyamakan “rasa” dari beberapa penerjemah tersebut. Bagaimanapun, masing-masing penerjemah memiliki citarasa bahasa yang bebeda-beda. Ada satu penerjemah yang menurutku bagus hasil terjemahannya. Setahuku, dia suka membaca dan menulis. Kurasa karena kebiasaannya membaca dan menulis itulah, rasa bahasa yang ia tuangkan dalam karya terjemahannya menjadi lebih bercitarasa daripada para penerjemah yang lain.

Aku sendiri kadang merasa kehabisan kata-kata saat menerjemahkan. Saat membaca teks aslinya (bahasa Inggris), aku bisa paham. Tetapi saat harus menuangkan artinya ke bahasa sasaran (bahasa Indonesia), aku jadi bingung. Lalu bagaimana? Cara yang paling mudah adalah dengan membuka kamus. Kadang aku perlu membandingkan antara satu kamus dengan kamus yang lain. Yang sangat membantu biasanya adalah dengan menengok kamus Inggris-Inggris. Dengan begitu, aku jadi tahu citarasa suatu kata dalam bahasa aslinya (bahasa Inggris). Jika perlu, cek pula kamus Inggris-Indonesia.

Aku pikir, salah satu tuntutan penerjemah adalah memiliki kosakata yang kaya. Dengan begitu, sang penerjemah bisa menghasilkan karya terjemahan yang enak dibaca. Pembaca tidak akan terlalu tersendat saat membaca hasil pekerjaannya dan tentu saja hal ini akan meringankan kerja editor. Cara paling mudah untuk memperkaya kosakata adalah dengan membaca. Ya, semudah itu caranya. Terutama bagi penerjemah buku, cara itu aku rasakan sangat efektif. Ketika aku hanya berkutat dengan pekerjaan menerjemahkan, kadang aku jadi kehabisan kata. Kata yang kupakai akhirnya itu-itu saja. Padahal kalau aku membaca buku yang lain, baik fiksi maupun nonfiksi, rasanya aku mendapat asupan kosakata. Aku jadi berpikir, “Oh, iya … bisa juga pakai kata ini ya.” Dan ketika membaca, aku jadi diingatkan lagi tentang bagaimana membangun kalimat yang efektif.

Cara lain yang menurutku agak merepotkan adalah dengan membandingkan hasil terjemahan dengan buku aslinya. Acap kali memang tidak mudah mendapatkan buku asli dan buku terjemahannya. Tetapi, satu dua kali aku pernah melakukan cara ini. Dengan cara itu, aku sebenarnya bisa benar-benar belajar bagaimana menerjemahkan dengan baik. Jika penerjemahnya bagus, aku bisa tahu diksi yang tepat. Selain itu, aku juga bisa belajar untuk membuat kalimat terjemahan yang mudah dipahami, meskipun itu berarti aku sedikit mengutak-atik kalimat.

Dulu, ketika awal-awal menjadi editor, penyeliaku memberikan nasihat begini: “Jika ada satu kalimat yang tidak nyambung dengan kalimat berikutnya, kamu mesti curiga. Biasanya ada kekeliruan di situ.” Dan memang benar. Rasanya tidak mungkin kan kalau dalam satu paragraf diceritakan si X pergi ke pasar, lalu tiba-tiba ada satu kalimat yang membahas masakannya enak. Ini misalnya saja sih. Hal seperti ini sangat dipahami oleh seorang penulis. Seperti zaman kita sekolah dulu, dalam pelajaran mengarang, kita tahu bahwa satu paragraf isinya adalah satu gagasan. Jika isinya macam-macam ide, berarti pikiran penulisnya kacau. 😀 Dan paragraf yang satu akan berkaitan dengan paragraf berikutnya. Kupikir, jika seorang penerjemah itu biasa menulis, hal seperti ini akan melekat di kepalanya. Jadi, jika ada satu kalimat atau bahkan satu kata yang tidak nyambung, “radarnya” akan memberi sinyal bahwa ada kekeliruan.

Kini setelah aku renungkan, ada dua hal yang baik dilakukan oleh seorang penerjemah, yaitu membaca dan menulis. Tapi kalau terus dikejar tenggat waktu, dua hal itu kadang sulit untuk dilakukan. Nah, jadi tugas berikutnya adalah: Pandai-pandailah membagi waktu antara bekerja dan mengasah kemampuan. 😀 Bagaimanapun, sebuah pisau harus rajin diasah agar tetap tajam, bukan?